Kamis, 05 Februari 2015

Kampung Naga



KAMPUNG NAGA adalah salah satu kampung adat dari sekian kampung-kampung adat yang ada di Jawa barat dan masih tetap melestarikan kebudayaan dan adat leluhurnya. Kampung Naga sendiri terletak di Desa Neglasari Kecamatan Salawu kabupaten Tasikmalaya yang tepatnya berada di antar jalan raya yang menghubungkan antara daerah Garut dengan Tasikmalaya dan berada tepat di sebuah lembah yang subur yang dilalui oleh sebuah sungai bernama sungai Ciwulan yang bermata air di Gunung Cikuray Garut. Jarak dari Kampung Naga ke kota Tasikmalaya sendiri sekitar 30 km. untuk mencapai kampung Naga yang penduduknya memeluk agama Islam ini harus melalui medan jalan yang lumayan terjal yakni harus menuruni anak tangga hingga sungai Ciwulan dengan kemiringan tanah sekitar 45 derajat.
Yang membuat Kampung Naga ini unik adalah karena penduduk kampung ini seperti tidak terpengaruh dengan modernitas dan masih tetap memegang teguh adat istiadat yang secara turun temurun diwariskan oleh nenek moyang mereka. Uniknya lagi, karena areal Kampung Naga yang terbatas hingga tak memungkinkannya lagi mendirikan rumah di kampung itu, banyak penduduk Kampung Naga pada akhirnya menyebar ke berbagai penjuru daerah seperti ke Ciamis dan bahkan Cirebon tapi penduduk yang tak lagi berdiam di Kampung Naga ini tetap saja masih menjunjung tinggi warisan adat budaya leluhurnya. Jika pada hari-hari tertentu Kampung Naga akan diselenggarakan misalnya adat dan upacara sa-Naga yang dipusatkan di Kampung Naga maka penduduk yang tak lagi tinggal di kampung ini pun akan menyempatkan hadir demi ikut berpartisipasi dalam perayaan atau upacara adat tersebut.
Nenek moyang Kampung Naga sendiri konon adalah Eyang Singaparana yang makamnya sendiri terletak di sebuah hutan disebelah barat Kampung Naga. Makam ini dianggap keramat dan selalu diziarahi oleh keturunannya yakni warga Kampung Naga pada saat mereka akan melaksanakan upacara-upacara adat atau yang lainnya. Kepatuhan warga Kampung Naga sendiri dengan tetap menyambangi makam leluhurnya ini sekaligus mempertahankan upacara-upacara adat, termasuk juga pola hidup mereka yang tetap selaras dengan adat leluhurnya seperti dalam hal religi dan upacara, mata pencaharian, pengetahuan, kesenian, bahasa dan sampai kepada peralatan hidup (alat-alat rumah tangga, pertanian dan transfortasi) dan sebagainya dengan dasar karena mereka begitu menghormati budaya dan tata cara leluhurnya. Mereka tetap kukuh dalam memegang teguh falsafah hidup yang diwariskan nenek moyangnya dari generasi ke generasi berikutnya, dengan tetap mempertahankan eksistensi mereka yang khas. Kebiasaan yang dianggap bukan berasal dari nenek moyangnya dianggap tabu untuk dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Pelanggaran terhadap ketentuan tersebut dianggap sebagai pelanggaran adat yang dapat membahayakan bukan saja bagi si pelanggar, tetapi juga bagi seluruh isi Kampung Naga dan bagi orang-orang sa-Naga.
Disamping gaya hidup dan pola kebersamaan mereka yang tak kalah unik dari Kampung Naga adalah struktur bangunan tempat tinggal mereka. Keunikan tersebut tercermin dari bentuk bangunan yang berbeda dari bangunan pada umumnya termasuk letak, arah rumah hingga bahan-bahan yang membentuk rumah itu semuanya selaras dengan alam dan begitu khas. Dengan ketinggian kontur tanah yang berbeda-beda di tiap tempat, maka rumah-rumah di Kampung Naga di buat berundak-undak mengikuti kontur tanah. Deretan rumah yang satu lebih tinggi dari rumah yang lain dengan pembatas sangked-sangked batu yang disusun sedemikian rupa hingga membuat tanah yang di atas meski ada bangunannya tidak mudah longsor ke bawah dan menimpa rumah yang ada di bawahnya. Sekeliling kampung pun dipagari dengan tanaman (pohon bambu) hingga membentuk pagar hidup yang begitu asri.
 



Dilihat dari bentuk perkampungannya, penduduk Kampung Naga sangat erat kekerabatannya. Hal itu tercermin dari pola rumah yang saling berkelompok dan saling berhadap-hadapan dengan tanah lapang ditengah-tengah sebagai areal bermain anak-anak. Seluruh rumah dan bangunan-bangunan yang ada atapnya memanjang arah barat ke timur, pintu memasuki kampung terletak di sebelah timur, menghadap ke sungai Ciwulan hingga jika dilihat dari ketinggian akan terlihat begitu indah dan mengingatkan kita pada atap-atap rumah di Tiongkok jaman kungfu dulu. Di bagian sebelah barat lapang terdapat bangunan masjid dan pancuran, sejajar dengan masjid terdapat bangunan yang dianggap suci yang dinamakan Bumi Ageung, sebuah bangunan rumah tempat menyimpan barang-barang pusaka serta rumah kuncen (Kepala Adat). Selain itu, terdapat bangunan tempat menyimpan hasil pertanian berupa padi yang disebut leuit
Lebih jauh, menilik pola hidup dan kepemimpinan Kampung Naga kita akan mendapatkan keselarasan antar dua pemimpin dengan tugasnya masing-masing yaitu pemerintahan desa dan pemimpin adat atau yang oleh penduduk Kampung Naga disebut sebagai Kuncen. Peran keduanya saling bersinergi satu sama lain untuk tujuan keharmonisan warga Kampung Naga. Pola kepemimpinan seperti ini mengingatkan saya pada pola kepemimpinan ulama dan umarah. Sang kuncen yang meski begitu berkuasa dalam hal adat istiadat jika berhubungan dengan sistem pemerintahan desa maka harus taat dan patuh pada RT atau RK, pun sebaliknya, Pak RT dan Pak RK pun mesti taat pada sang Kuncen apabila berurusan dengan adat istiadat dan kehidupan kerohanian.



Beralih ke sistem kesenian Kampung Naga, kita akan bersitatap dengan berbagai kesenian tradisional yang tetap dilestarikan keasliannya yang antara lain seperti kesenian terbangan, angklung, dan beluk. Kesenian-kesenian ini biasanya akan ditampilkan bilamana warga Kampung Naga sedang melaksanakan berbagai upacara-upacara adat seperti upacara sasih, upacara berziarah ke kubur keramat nenek moyang dan upacara yang berhubungan dengan bulan-bulan suci atau agung dalam Islam, misalnya bulan Muharram, Maulud, hari Raya Idulfitri, dan sebagainya. Meski begitu, kesenian ini pun kerap kali dipentaskan tidak hanya untuk mengiringi upacara-upacara adat tapi juga pada saat hajatan perkawinan dan khitanan sebagi sarana hiburan sekaligus penyemarak pesta.
 
 
 
Sumber: http://arsipbudayanusantara.blogspot.com/2013/05/kampung-naga-kampung-adat-di-jawa-barat.html

Sunda Wiwitan




Sejarah agama Sunda Wiwitan

Berbagai literatur menyebutkan, Agama Sunda adalah kepercayaan sejumlah masyarakat yang tersebar di daerah Kecamatan Cigugur, Kuningan, Jawa Barat. Agama ini juga dikenal sebagai Cara Karuhun Urang (tradisi nenek moyang), agama Sunda Wiwitan, ajaran Madrais atau agama Cigugur.

Namun, Abdul Rozak, peneliti kepercayaan Sunda, menyebutkan bahwa agama ini adalah bagian dari agama Buhun, yaitu kepercayaan tradisional masyarakat Sunda yang tidak hanya terbatas pada masyarakat Cigugur di Kabupaten Kuningan, tetapi juga masyarakat Baduy di Kabupaten Lebak, para pemeluk "Agama Kuring" di daerah Kecamatan Ciparay, Kabupaten Bandung dan masih banyak lagi komunitas masyarakat memeluk agama tersebut.

Jumlah pemeluknya di daerah Cigugur sekitar 3.000 orang. Bila para pemeluk di daerah lain ikut dihitung, maka jumlah pemeluk agama Buhun ini, menurut Abdul Rozak, mencapai 100.000 orang, sehingga agama Buhun termasuk salah satu kelompok yang terbesar di kalangan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Agama Sunda atau agama Sunda Wiwitan ini dikembangkan oleh Pangeran Madrais dari Cigugur, Kuningan. Oleh pemerintah Belanda, Madrais belakangan ditangkap dan dibuang ke Ternate, dan baru kembali sekitar tahun 1920 untuk melanjutkan ajarannya.

Madrais, yang biasa juga dipanggil Kiai Madrais, adalah keturunan dari Kesultanan Gebang, sebuah kesultanan di wilayah Cirebon Timur. Ketika pemerintah Hindia Belanda menyerang kesultanan ini, Madrais diungsikan ke daerah Cigugur.

Madrais yang juga dikenal sebagai Pangeran Sadewa Alibasa, dibesarkan dalam tradisi Islam dan tumbuh sebagai seorang spiritualis. Ia mendirikan pesantren sebagai pusat pengajaran agama Islam, tetapi kemudian mengembangkan pemahaman yang digalinya dari tradisi pra-Islam masyarakat Sunda yang agraris.

Ia mengajarkan pentingnya menghargai cara dan ciri kebangsaan sendiri, yaitu Sunda. Dalam ajaran dan ritual, Madrais menetapkan tanggal 22 Rayagung menurut kalender Sunda sebagai hari raya Seren Taun yang diperingati secara besar-besaran. Upacara ini dipusatkan di Paseban Tri Panca Tunggal, rumah peninggalan Kiai Madrais yang didirikan pada 1860.

Dalam upacara ini, berbagai rombongan dari masyarakat datang membawa bermacam-macam hasil bumi. Padi-padian yang dibawa, kemudian ditumbuk beramai-ramai dalam lesung sambil bernyanyi (ngagondang).
Upacara ini dirayakan sebagai ungkapan syukur untuk hasil bumi yang telah dikaruniakan oleh Tuhan kepada manusia. Upacara "Seren Taun" yang biasanya berlangsung hingga tiga hari dan diwarnai oleh berbagai kesenian daerah ini, pernah dilarang oleh pemerintah Orde Baru selama 17 tahun, namun kini upacara ini dihidupkan kembali.

Madrais juga mengajarkan penghormatan terhadap Dewi Sri (Sanghyang Sri) melalui upacara-upacara keagamaan penanaman padi. Ia memuliakan Maulid serta semua Nabi yang diturunkan ke bumi.
Madrais wafat pada tahun 1939, dan kepemimpinannya dilanjutkan oleh anaknya, Pangeran Tedjabuana, dan kemudian oleh cucunya, Pangeran Djatikusuma yang 11 Juli 1981 mendirikan Paguyuban Adat Cara Karuhun Urang (PACKU).

Penganut ajaran ini dapat ditemukan di beberapa desa di provinsi Banten dan Jawa Barat, seperti di Kanekes, Lebak, Banten; Ciptagelar Kasepuhan Banten Kidul, Cisolok, Sukabumi; Kampung Naga; dan Cigugur, Kuningan.

Menurut penganutnya, Sunda Wiwitan merupakan kepercayaan yang dianut sejak lama oleh orang Sunda sebelum datangnya ajaran Hindu dan Islam.

Ajaran Sunda Wiwitan

Agama Sunda Wiwitan diklaim sebagai agama asli Indonesia. Makna wiwitan dalam Sunda Wiwitan adalah ‘permulaan’ atau ‘awal’. Pemahaman Sunda Wiwitan sendiri antara lain sistem keyakinan tradisi Sunda Lama sebelum datangnya agama-agama lain ke nusantara. Kata sunda bukan hanya bermakna etnis Sunda, tetapi bermakna filosofis yang artinya damai atau cahaya.

Agama Sunda Wiwitan dinilai memiliki unsur monotheisme purba, yaitu di atas para dewata dan hyang terdapat dewa tunggal tertinggi maha kuasa yang tak berwujud yang disebut Sang Hyang Kersa yang disamakan dengan Tuhan Yang Maha Esa.

Kekuasaan tertinggi berada pada Sang Hyang Kersa (Yang Mahakuasa) atau Nu Ngersakeun (Yang Menghendaki). Dia juga disebut sebagai Batara Tunggal (Tuhan yang Mahaesa), Batara Jagat (Penguasa Alam), dan Batara Seda Niskala (Yang Gaib). Dia bersemayam di Buana Nyungcung. Semua dewa dalam konsep Hindu (Brahma, Wishnu, Shiwa, Indra, Yama, dan lain-lain) tunduk kepada Batara Seda Niskala.
Ada tiga macam alam dalam kepercayaan Sunda Wiwitan seperti disebutkan dalam pantun mengenai mitologi orang Kanekes:
  1. Buana Nyungcung: tempat bersemayam Sang Hyang Kersa, yang letaknya paling atas
  2.  Buana Panca Tengah: tempat berdiam manusia dan makhluk lainnya, letaknya di tengah
  3.  Buana Larang: neraka, letaknya paling bawah
Dalam ajaran Sunda Wiwitan penyampaian doa dilakukan melalui nyanyian pantun dan kidung serta gerak tarian. Tradisi ini dapat dilihat dari upacara syukuran panen padi dan perayaan pergantian tahun yang berdasarkan pada penanggalan Sunda yang dikenal dengan nama Perayaan Seren Taun.

Meskipun sudah terjadi inkulturasi dan banyak orang Sunda yang memeluk agama-agama di luar Sunda Wiwitan, paham dan adat yang telah diajarkan oleh agama ini masih tetap dijadikan penuntun di dalam kehidupan orang-orang Sunda. Secara budaya, orang Sunda belum meninggalkan agama Sunda ini.

Tempat Suci

Tempat suci atau tempat pemujaan yang dianggap sakral atau keramat dalam Agama Sunda Wiwitan adalah Pamunjungan atau disebut Kabuyutan. Pamunjungan merupakan punden berundak yang biasanya terdapat di bukit dan di Pamunjungan ini biasanya terdapat Menhir, Arca, Batu Cengkuk, Batu Mangkok, Batu Pipih dan lain-lain.

Pamunjungan atau Kabuyutan banyak sekali di Tatar Sunda seperti Balay Pamujan Genter Bumi, Situs Cengkuk, Gunung Padang, Kabuyutan Galunggung, Situs Kawali dll. Di Bogor sendiri sebagi Pusat Nagara Sunda dan Pajajaran dahulu terdapat Banyak Pamunjungan beberapa diantaranya adalah Pamunjungan Rancamaya nama dahulunya adalah Pamunjungan Sanghyang Padungkukan yang disebut Bukit Badigul namun sayang saat ini Pamunjungan tersebut sudah tidak ada lagi, digantikan oleh Lapangan Golf.

Pada masanya Pamunjungan yang paling besar dan mewah adalah Pamunjungan Kihara Hyang yang berlokasi di Leuweung (hutan) Songgom, atau Balay Pamunjungan Mandala Parakan Jati yang saat ini lokasinya digunakan sebagai Kampung Budaya Sindang Barang.

Dengan banyaknya Pamunjungan atau Kabuyutan tersebut di Tatar Sunda membuktikan bahwa agama yang dianut atau agama mayoritas orang Sunda dahulu adalah Agama Jati Sunda atau Sunda Wiwitan, ini adalah jawaban kenapa di Sunda sangat jarang sekali diketemukan Candi.

Namun begitu, Hindu dan Budha berkembang baik di Sunda bahkan Raja Salaka Nagara juga Tarumanagara adalah seorang Hindu yang taat. Candi Hindu yang ditemukan di Tatar Sunda adalah Candi Cangkuang yang merupakan candi Hindu pemujaan Siwa dan Percandian Batujaya di Karawang yang merupakan kompleks bangunan stupa Buddha.




Sumber :http://budaya.rimanews.com/agama/read/20140918/173349/Mengenal-Agama-Asli-Indonesia-Sunda-Wiwitan

Selasa, 03 Februari 2015

Belajar Aksara Sunda

Dalam percakapan sehari-hari, etnis Sunda banyak menggunakan bahasa Sunda, pada jaman dahulu pun bahasa daerah selalu digunakan oleh para masyarakat. Namun kini jaman telah berubah banyak masyarakat Sunda terutama yang tinggal di perkotaan tidak lagi menggunakan bahasa Sunda dalam bertutur kata. Seperti yang terjadi di pusat-pusat keramaian kota Bandung, dimana banyak masyarakat yang tidak lagi menggunakan bahasa Sunda dan seringkali dari mereka lebih banyak menggunakan bahasa Indonesia dibandingkan dengan bahasa daerah sendiri.

Ada hal yang harus kita ketahui mengenai bahasa sunda yaitu Ada beberapa dialek dalam bahasa Sunda, mulai dari dialek Sunda-Banten, hingga dialek Sunda-Jawa Tengahan yang mulai tercampur bahasa Jawa. Para pakar bahasa biasanya membedakan enam dialek berbeda. Dialek-dialek ini adalah:
Dialek Barat dipertuturkan di daerah Banten dan Lampung. Dialek Utara mencakup daerah Sunda utara termasuk kota Bogor dan beberapa daerah Pantura. Lalu dialek Selatan adalah dialek Priangan yang mencakup kota Bandung dan sekitarnya. Sementara itu dialek Tengah Timur adalah dialek di Kabupaten Majalengka dan Indramayu. Dialek Timur Laut adalah dialek di sekitar Cirebon dan Kuningan, juga di beberapa kecamatan di Kabupaten Brebes dan Tegal, Jawa Tengah. Dan akhirnya dialek Tenggara adalah dialek sekitar Ciamis, juga di beberapa kecamatan di Kabupaten Cilacap dan Banyumas, Jawa Tengah.

Yang perlu kita ketahui juga sunda mempunyai Kosa Kata Paling Banyak untuk berbagai tingkatan seperti di bawah ini :
Yuk kita belajar aksara sunda….



Aksara Suara (vokal)

 
Aksara Ngalagena
 
Rarangkén
 
Berdasarkan letak penulisannya, rarangkén terbagi menjadi 3 :
a)       Rarangkén diatas huruf
b)       Rarangkén dibawah huruf
c)       Rarangken sejajar huruf


a.       Rarangkén diatas huruf

b.   Rarangkén dibawah huruf
 c.   Rarangken sejajar huruf


Contoh kalimat           :
 

Arti dari kata tersebut :
Sakumna jalma gubrag ka alam dunya teh sifatna merdika jeung boga martabat katut hak-hak anu sarua. Maranehna dibere akal jeung hate nurani, campur-gaul jeung sasamana aya dina sumanget duduluran.
Nah setelah kita mengenal huruf huruf sunda, mari kita belajar mengenal angka –angka dalam bahasa sunda yuk…
ANGKA

Seperti yang kita pelajari tadi orang Sunda  harusnya patut berbangga, karena Bahasa Sunda dan Aksara Sunda menjadi satu satunya bahasa daerah Indonesia yang pertama bisa diaplikasikan di Komputer kalian dengan lisensi UNICODE (Lisensi Bahasa Komputer Internasional).

Tapi diluar dari Bahasa Sunda dan Aksaranya, bahasa Sunda kaya akan pembendaharaan kata, contoh kalau "Makan" dibahasa Indonesia saja sedangkan  dibahasa Sunda banyak, yaitu :

"Emam" = untuk orang tua/Anak Kecil Sopan, 

"Tuang" = Untuk Sebaya Sopan, atau Lebih tua sedikit, 

"Dahar"= untuk teman sebaya Sedikit Kasar,

"Nyatu"= Bahasa Kasar, 

"Jajablok"=bahasa sangat kasar.
Dan masih banyak lagi, jadi kalau kalian mau belajar bahasa sunda harus hati-hati, jangan cuma asal denger terus diucapin, kalian harus tau kata-kata itu diucapkan untuk siapa dan sopan atau kasar. Awalnya memang ribet sih tapi lama kelamaan kalo sering di aplikasikan dalam berbicara tidak akan sulit ko :D




Sumber :

http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Sunda
http://haikalmunfaridzi.blogspot.com/2012/10/belajar-aksara-sunda_15.html
http://www.omniglot.com/writing/sundanese.php
http://ukkievdb.blogspot.com/2012/01/ciri-khas-orang-sunda-yeuh.html

RAIKU BEAUTY